• Home
  • Opini
  • Menunggu Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Medsos MUI

Menunggu Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Medsos MUI

Dewi Safitri Jumat, 08 September 2017 17:25 WIB
RIAUHEADLINE.COM - Penantian itu akhirnya usai Juni lalu. Dua puluh enam pasal diterbitkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia yang memerintahkan agar umat mengindahkan fikih dan ketentuan agama dalam bermedia sosial.
 
Sepanjang 24 lembar keputusan fatwa, 10 halaman pertamanya memuat ayat dan dalil hingga pertimbangan pemikir cerdik pandai Islam lalu yang dianggap penting dalam standar keadaban Muslim di dunia maya. Fatwanya sendiri sama sekali tak asing.

Selalu teliti kebenaran berita yang diterima. Jangan sebar kecuali yakin kebenarannya. Jangan tulis posting yang akan menyakitkan hati orang lain. Bahkan saat tak sependapat, selalu gunakan bahasa dan ahlak yang baik. Jangan ajak orang jadi pembenci dan penghasut. Hal-hal yang sudah dikampanyekan pemerintah dan pegiat medsos sehat selama ini.

Saat menjadi tuan rumah dalam acara resmi rilis fatwa ini bulan Ramadhan lalu, Menteri Telekomunikasi dan Informatika Ahmad Rudiantara menyambut dengan antusias. Acuan hukum Islam ini seperti “darah baru” katanya, dalam upaya memerangi penyebaran berita palsu, hoax dan ujaran kebencian.

Target Kementerian untuk kampanye medsos sehat dan sosialiasi fatwa MUI menurut Rudiantara akan diteruskan ke daerah-daerah “terutama yang selama ini tinggi penetrasi aktivitas medsosnya”.

Sambutan netizen? Sampai tiga bulan setelah fatwa dirilis, masih dingin saja. 

Ditandai dengan masih maraknya adu caci-maki di Facebook dan Twitter, juga lalu lintas sharing berita ngawur yang masih sama deras seperti sebelumnya. Ujungnya, kasus-kasus hukum berkait dengan pemanfaatan medsos terus bermunculan.

Polisi malah baru mengumumkan digulungnya sindikat profesional spesialis berita hoax dengan 800ribu akun. Seorang remaja di Medan diciduk polisi beberapa pekan lalu setelah menantang minta ditangkap karena kerap menghina Presiden Joko Widodo dan Kapolri Tito Karnavian di akun Facebook-nya. 

Jonriah Ukur Ginting alias Jonru, selebritas medsos yang mengatakan dirinya anti-fitnah dan hoax, pekan lalu dilaporkan pada polisi karena dituduh menyebar kebencian di medsos lewat, ya itu tadi, fitnah dan hoax.

Sebagai kasus hukum, tentu perlu menunggu pengadilan untuk membuktikan apakah benar kasus-kasus di atas menunjukkan pelanggaran aturan pemanfaatan teknologi informasi. Banyaknya kasus, juga belum berarti situasi kiwari ini menunjukkan fatwa medsos MUI gagal - karena pada dasarnya fatwa memang bukan hukum positif dan tak bersifat mengikat. 

Hanya melihat besarnya upaya pembelaan umat terhadap salah satu fatwa MUI yang sampai mengindahkan solidaritas jutaan orang tahun lalu, rasanya cukup mengecewakan fatwa segenting aturan muamalah di medsos ini lewat begitu saja. Bahkan tak masuk tema terheboh bahan obrolan di platform WhatsApp semacam pernikahan Raisa atau pro-kontra vaksin Mumps-Rubella.

Kenapa fatwa MUI ini terkesan tak dipandang penting?

Bisa jadi ada beberapa sebab. Pertama, karakter pemakai media sosial di Indonesia sudah terlanjur jauh terbentuk sejak hujan badai hoax, berita dusta dan persekusi di medsos mulai masif 2014 lalu. Mengubah sifat ini mungkin akan sama dengan mematikan karakter natural orang Indonesia di medsos. 

Catatan terbaru Facebook malah menyebut sekarang ada 115 juta akun Indonesia di jejaring perkawanan ini. Ciri umumnya adalah orang Indonesia paling gemar share, paling suka berkomentar dan paling banyak jumlah kekawanannya.

Meminta orang untuk waspada dan selektif memilih dan membagi berita hampir sama dengan meminta lebih seratus juta akun itu menghentikan aktivitas medsosnya. 

Agak seperti hil yang mustahal. Kedua, dalam tiga tahun terakhir upaya mengoreksi dan mengkampanyekan pemakaian medsos sehat bukan tak ada. Tapi upaya-upaya semacam itu bisa dibilang mentah, parsial dan jauh dari mencukupi. 

Coba lihat ke sekolah. Anak-anak sekolah dasar sudah dianggap biasa bermedia sosial dan punya akun Facebook atau Instagram, bahkan berteman dengan guru dan orang-orang yang jauh lebih tua. Padahal aturan standar Facebook mengatakan usia minimal buka akun adalah 13 tahun. 

Guru dan orangtua juga banyak tak sadar, anak-anak perlu diajak bicara dan ditemani saat memanfaatkan media sosial. Karena tak dilakukan, beberapa kali caci-maki dan fitnah justru terlontar dari akun anak-anak yang belum paham konteks dan kejadian. Salah siapa coba?

Fatwa MUI bisa jadi alat efektif untuk memerangi penyebaran kebencian via medsos - dan ini menjadi kebutuhan krusial melihat rangkaian Pilkada dan Pilpres yang berisiko penuh konflik sudah di depan mata.

Supaya tak keterusan melempem, jalur penyebaran fatwa mesti diperluas kemana-mana termasuk lewat sekolah, pengajian, khutbah Jumat sampai arisan di rumah mertua.  

Kita butuh semua lini sebagai pengawal fatwa medsos Kalau tidak, bisa terus runyam masa depan Indonesia.

Penulis : Dewi Safitri
(Lulus studi Science Tech in Society dari University College London dan sekarang bekerja untuk CNN Indonesia. Penggemar siaran radio dan teka-teka silang).

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Tags Berita HoaxFacebookMUIMedsosTwitter
Komentar