• Home
  • Opini
  • Mendobrak Mitos Audit BPK dan Opini WTP

Mendobrak Mitos Audit BPK dan Opini WTP

Rabu, 12 Juli 2017 08:15 WIB
OPINI - Di level diskursus birokrasi pemerintahan, audit keuangan atau audit atas laporan keuangan banyak dipersepsikan sebagai kegiatan pemeriksaan keuangan yang komprehensif untuk menemukan penyimpangan dan identifikasi tindakan koruptif.

Masyarakat umum dan banyak birokrat juga belum paham betul dengan kebenaran sifat audit keuangan. Mereka mempersepsikan jika opini hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) maka pengelolaan keuangan telah dinyatakan bersih dari penyimpangan.

Alhasil, masih banyak yang terpana ketika sebuah instansi pemerintah mendapatkan opini WTP, tetapi tiga bulan kemudian beberapa pejabat di instansi tersebut tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski telah dijelaskan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), banyak yang belum memahami bahwa tujuan audit keuangan hanyalah untuk memeriksa penyajian angka-angka di laporan keuangan. Pemeriksaan itu terutama terkait kesesuaian penyajiannya dengan standar akuntansi, kepatuhan terhadap peraturan dan kelemahan sistem pengendalian internal.

Jadi, audit keuangan itu bukan untuk menentukan bersih-tidaknya dari penyimpangan, apalagi kinerja sebuah instansi pemerintah.

Jika menilik arti dan manfaat sebenarnya dari kegiatan audit keuangan, maka pengertian audit keuangan tidak akan ‘semencekam’ yang banyak dibayangkan masyarakat.

Audit keuangan adalah kegiatan pemeriksaan yang berfungsi memberikan pendapat atas kewajaran suatu penyajian informasi laporan keuangan. Artinya, pemeriksaan ditujukan untuk melihat kualitas informasi akuntansi yang dibandingkan dengan prinsip-prinsip akuntansi dan standar yang berlaku.

Secara teoritis seharusnya audit keuangan tidak mencekam seperti yang dibayangkan selama ini. Sayangnya, praktik audit ini di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh BPK, telah berubah menjadi sangat ‘mencekam’.

Hal ini karena beberapa auditor BPK telah berimprovisasi dalam melakukan pemeriksaan di lapangan sehingga akhirnya memberi kesan menakutkan bagi instansi yang diaudit. Karena itulah, lalu masyarakat awam berharap lebih banyak dari audit laporan keuangan. Semacam gayung bersambut, terjalinnya improvisasi auditor dengan ekspektasi masyarakat. 

Begitu pula terkait pemanfaatannya. Laporan keuangan yang telah diaudit dianggap mampu diandalkan dan bermanfaaat menjadi bahan pengambilan keputusan yang baik.

Padahal, pengambilan keputusan ternyata belum banyak memanfaatkan laporan hasil audit keuangan ini. Bahkan, pemangku kepentingan tertentu masih kesulitan melakukan interpretasi terhadap arti dari laporan keuangan. Kebanyakan para pemangku kepentingan hanya membaca judul dari pernyataan opini, apakah WTP atau tidak. WTP kesannya adalah auditor telah memberikan stempel “approved”.

Ketidakpahaman pemangku kepentingan, masyarakat, maupun sebagian birokrat ini dapat dimaklumi mengingat berbagai pihak telah membangun dan membentuk sendiri mitos ritual audit keuangan ini. 

Ya, audit keuangan sebenarnya tidak lebih dari sebuah ritual yang dilakukan jika sebuah instansi memiliki laporan keuangan. Ritual yang harus dijaga agar mitos pengelolaaan keuangan yang baik mampu diraih.

Mitos tidak dapat terbangun dengan sendirinya. Ada upaya tertentu dari berbagai pihak untuk membuat sebuah penanda menjadi makna tertentu yang mengakar kuat di masyarakat. Mitos bukan konsep atau ide, tetapi merupakan suatu cara pemberian arti.

Mengacu kepada konsep mythologies dalam buku yang ditulis oleh Roland Barthes, mitos mengenal tiga unsur, yaitu penanda, petanda, dan tanda. Laporan audit sebagai penanda, sedangkan opini sebagai petanda. Adapun, tanda adalah hubungan antara penanda dan petanda yang mempunyai arti khusus, yang bisa jadi arti tersebut adalah tata kelola keuangan yang baik.

Dalam hal ini, mitos yang dibangun terhadap opini laporan audit keuangan adalah tata kelola keuangan yang baik. Pemaknaan ‘baik’ pun dapat mengalami reduksi di sana sini.

‘Baik’ menurut auditor adalah sesuai dengan standar. ‘Baik’ menurut instansi bisa jadi adalah telah tertib dan bebas kesalahan administrasi. ‘Baik’ menurut masyarakat bisa jadi adalah tata kelola yang bersih dari penyimpangan.

Banyaknya pergeseran makna karena interpretasi yang berbeda ini lah yang kemudian melahirkan mitos. Sebuah kebenaran yang dianggap nyata, tetapi belum tentu dapat dibuktikan.

Opini jadi instrumen penguasa

Selama ini, mitos tersebut telah dipelihara dan dibiarkan sehingga maknanya tereduksi di sana sini. Seperti halnya pohon beringin, yang arti denotatifnya adalah pohon besar dan rindang, ia telah mengalami pergeseran makna menjadi pohon keramat yang menyimpan cerita mistis, atau sebagian mereduksi maknanya sebagai pohon yang penuh rahmat dan rezeki. Pergeseran makna ini tidak terlepas dari budaya setempat yang melingkupinya.

Demikian pula opini dari hasil audit keuangan. Pergeseran makna dari kesesuaian dengan standar menjadi gambaran tata kelola keuangan yang bersih dan bebas penyimpangan, lalu terjadi reduksi makna sebagai prestasi.

Saat prestasi menjadi makna baru bagi hasil audit keuangan, tak heran kemudian banyak instansi pemerintah yang berlomba meraihnya, bahkan terkadang menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Pemaknaaan sebagai prestasi sangat erat kaitannya dengan budaya atau rezim aturan yang menyelimuti birokrasi di Indonesia, yaitu prestasi mematuhi aturan dan standar.

Reduksi makna ini bukan hanya bermain pada tataran ucapan dan komunikasi, tetapi telah masuk pada tataran praktik dan legitimasi. Di level pemegang otoritas pemerintahan, opini hasil audit telah dilegitimasi menjadi instrumen kekuasaan dengan pemberian penghargaan bagi instansi pemerintah yang berhasil meraih opini WTP.

Alhasil, ditengarai pemberian persetujuan anggaran menjadi lebih mudah dan sekaligus sebagai sarana menormalisasi politik anggaran. Legitimasi ini melanggengkan mitos bahwa opini hasil audit keuangan WTP sebagai sebuah prestasi yang membanggakan.

Di lain pihak, legitimasi atas mitos prestasi ini juga berfungsi mengukuhkan budaya kepatuhan di lingkungan birokrasi. Artinya, semakin instansi pemerintah ingin memperoleh prestasi tersebut, semakin perlu menaikkan kadar kepatuhan terhadap aturan dan standar.

Di sisi lain, budaya kepatuhan terhadap aturan yang melanggengkan mitos tersebut tidak bebas dari permasalahan. Standar dan aturan formal adalah produk dari rasionalitas Weberian yang menganggap kegiatan birokrasi akan efektif dan efisien jika segala sesuatunya dibentuk dan ditentukan dengan sebuah standar dan aturan.

Yang dituntut oleh standar dan aturan ini adalah kepatuhan. Namun, seringkali kepatuhan yang berlebihan melupakan kepatutan. Nilai-nilai luhur dan etika kemudian terpinggirkan.

Dalam beberapa kasus penyusunan maupun penggunaaan anggaran, secara standar dan aturan telah benar. Namun, secara substansi bisa jadi hal tersebut tak sesuai dengan kepatutan yang ada di masyarakat.

Contohnya, acara rapat koordinasi sebuah instansi yang memakan biaya ratusan juta telah diselenggarakan di sebuah kota tertentu seolah-olah tidak menyalahi aturan. Namun, ternyata pemilihan waktu dan tempat rapat tersebut disesuaikan dengan adanya acara pernikahan anak seorang pejabat di instansi itu.

Kegiatan ini tidak melanggar kepatuhan, tetapi tidak sesuai dengan azas kepatutan. Banyak pegawai kelas bawah yang sebenarnya merasa terusik dengan ketidakpatutan tersebut.

Rezim kepatuhan terhadap standar dan aturan telah disuburkan oleh audit keuangan BPK. Instrumentalisme semakin tumbuh subur. Aturan dan standar yang tadinya dimaksudkan hanya sebagai sarana mengatur, kini semakin meningkat derajatnya menjadi tujuan.

Semua berlomba-lomba mengejar prestasi opini audit BPK dan sering melupakan tujuan dasar meningkatkan nilai layanan publiknya.

Banyak terjadi mundurnya pejabat pengadaan yang ketakutan jeratan hukum dan aturan karena rezim kepatuhan terus ditumbuhkan. Keampuhan efek audit keuangan ini pun sebenarnya sejalan dengan kasus kriminalisasi pejabat atau pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Standar juga berefek negatif terhadap efisiensi, yang sebenarnya sebuah tujuan yang ingin disasar oleh birokrasi itu sendiri. Terjadi paradoks di sini.

Dengan semangat memenuhi aturan agar mendapatkan opini WTP, semua instansi semakin ketat menerapkan prosedur, terutama prosedur keuangan. Pertanggungjawaban bahkan disasar sampai pada rincian detail. Berkas pertanggungjawaban terkadang perlu dibuat berlembar-lembar, dan tanpa makna.

Alhasil, terjadi inefisiensi waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya. Padahal, gelombang teknologi informasi yang sebenarnya mampu membuat cara bekerja lebih efisien. Bahkan, standar akuntansi pun terlihat tertinggal daripada pesatnya kemajuan teknologi. Pantas Presiden Joko Widodo sempat mengeluh bahwa prestasi PNS hanyalah berhasil mengurus SPJ.

Pemenuhan standar juga menjadikan semua bentuk pelayanan publik menjadi sama. Jenis maupun bentuk pelayanan pubik yang tertuang dalam laporan keuangan hasil audit menjadi seragam di mata standar.

Jika semuanya sama dan seragam, maka fleksibilitas menjadi tergerus. Padahal, fleksibilitas berupa diskresi kadang diperlukan untuk kecepatan pemenuhan pelayanan publik.

Audit sebagai sebuah ritual telah didukung dengan pembentukan mitos akan memproduksi ritual-ritual baru dalam praktik birokrasi. Dalam kapasitasnya sebagai teknik kekuasaan, audit keuangan benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan audit, perilaku institusi pemerintah menjadi terbentuk, cenderung mengamankan institusinya dari kesalahan yang kemungkinan mampu dideteksi oleh auditor.

Kini audit keuangan telah menjadi sebuah mekanisme pengawasan yang bersifat panoptikon, pengawasan yang diskontinyu tapi efeknya kontinyu. Sebab, setiap pegawai terutama di bagian keuangan dan administrasi menjadi cenderung menerapkan prosedur ketat terhadap urusan keuangan dan administrasi.

Mereka selalu dihantui oleh kesalahan administrasi dan pemenuhan standar akuntansi hanya untuk mengejar mitos bernama prestasi. Laporan keuangan dengan predikat WTP semestinya bukan barang yang perlu diperjuangkan berlebihan, apalagi dimitoskan menjadi prestasi.

Ibarat membuka warung makan, makanan siap saji sudah semestinya tersaji, tidak perlu diperjuangkan lagi hingga dianggap prestasi. Prestasi seharusnya diukur pada seberapa mampu makanan yang disajikan tadi berdampak pada kesehatan pelanggan yang menikmatinya.

Auditor, terutama auditor BPK, dan kita semua harus berani merombak ritual audit ini, yang seharusnya tidak perlu mencekam. Perlu keberanian bagi instansi yang diaudit untuk terkadang rela dianggap tidak “berprestasi” karena tidak meraih predikat WTP namun tetap memiliki nilai bagi masyarakat.

Selain itu, perlu keberanian dari pemegang otoritas pemerintahan, terutama Presiden, agar tidak lagi melegitimasi mitos opini WTP audit BPK. Yang diperlukan adalah pemerintah menciptakan mitos baru untuk menggeser sekadar ‘budaya kepatuhan’ menjadi ‘budaya kepatutan’ untuk memenuhi pelayanan publik. Dengan demikian, peradaban birokrasi kita mampu bergerak menuju peradaban baru yang lebih bermakna.

Penulis : Mutia Rizal
(PNS yang sedang menempuh program S3 Administrasi Publik UGM dan pegiat Komunitas Birokrat Menulis)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Tags KorupsiWTP
Komentar